AKHLAK
(KEPADA KHALIK DAN MAKHLUK)
1.
Pengertian
Akhlak, Ilmu Akhlak, Etika, dan Moral
A. Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk
mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan), dan
pendekatan terminologik (peristilahan).
Dari sudut
kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk
infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlâqan, sesuai timbangan (wazan)
tsulasi mazid af’ala, yuf’ilu if’âlan yang berarti as-sajiyyah (perangai),
ath-thabî’ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-’âdah (kebiasaan, kelaziman),
al-murû’ah (peradaban yang baik) dan ad-dîn (agama).
Untuk
menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada
berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M)
yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu
misalnya secara singkat mengatakan bahwa: ”akhlak adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan”.
Sementara
itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul
Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai
paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih,
mengatakan akhlak adalah: ”sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
macam-macam perbuatan dengan gamblang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan”.[1]
B. Ilmu Akhlak
Ilmu Akhlak adalah pengenalan terhadap kemulaiaan
akhlak dan kebejatannya. Muhaqqiq Thusi mengatakan bahwa ilmu Akhlak yaitu
pengetahuan tentang bagaimana jiwa manusia menyandang suatu karakter yang
memuliakan seluruh tindakan yang dilakukan atas dasar kehendak.[2]
C.
Etika
Dari
segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos
yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia,
etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari
pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya
menentukan tingkah laku manusia.
Ahmad
Amin mengartikan etika adalah: ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang
harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang seharusnya diperbuat.[3]
D. Moral
Adapun
arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari
kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia
dikatan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan
kelakuan.
Selanjutnya
moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan
batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara
layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Berdasarkan
kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang
digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai
(ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.[4]
2.
Perbedaan antara Akhlak, Ilmu Akhlak, Moral, dan Etika
Dilihat dari fungsi dan peranannya
dapat dikatakan bahwa etika, moral, akhlak yaitu menentukan hukum atau nilai
dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik buruknya.
Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat
yang baik, teratur, aman, damai dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan
lahiriyah.perbedaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah
terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menetukan baik dan buruk.
Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan akal pikiran, dan pada moral berdasarkan
kebiasaan yang dilakukan umum dimasyarakat, maka pada akhlak ukuran yang
digunakn untuk menentukan baik dan buruk itu adalah al-qur’an dan al-hadis.
Perbedaan
lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan
pembahasannya. Jika etika lebih bersifat teoritis, maka pada moral dan etika
lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara
umum, sedangkan moral dan susila bersufat local dan individual. Etika
mejelaskan baik ukuran buruk, sedangkan moral bersifat lkal dan individual.
Etikan menjelaskan baik atau buruk sedangkan moral menyatakan ukuran tersebut
dalam bentuk perbuatan.[5]
3.
Macam –
Macam Akhlak
Akhlak terbagi menjadi dua macam yaitu:
·
Akhlak Mahmudah (akhlak terpuji) dan
·
Akhlak Madzmumah (akhlak tercela).
Akhlak
Mahmudah (akhlak terpuji) contohnya
adalah : jujur, khusnudzon (berbaik sangka), menolong sesama, tawakkal, taat,
istiqomah, optimis, dll. Sedangkan contoh dari Akhlak Mazmumah (akhlak
tercela), adalah : bohong, dengki, fitnah, putus asa, iri hati, pesimis,
sombong, su’udzon (berburuk sangka) dan sebagainya. Menurut
cara pembentukannya, akhlak dibedakan menjadi dua cara yaitu: 1. Insting
yang dibawa manusia sejak lahir tanpa dibentuk atau usahakan (ghair muktasabah).
2. Hasil usaha dari pendidikan, latihan pembinaan, perjuangan keras dan
sungguh-sungguh (muktasabah).[6]
4.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Akhlak
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi akhlak pada khususnya dan
pendidikan pada umunya, ada tiga aliran yaitu:
1) Aliran Nativisme : Menurut aliran ini faktor yang paling
berpengaruhi terhadap diri seseorang adalah faktor bawaan dari dalam yang
bentuknya dapat berupa kecendrungan, bakat, dan akal. Jika seorang telah
memiliki bawaan kepada yang baik maka dengan sendirinya orang tersebut lebih
baik.
2) Aliran Empirisme : Menurut aliran ini faktor yang paling
berpengaruhi terhadap pembentukan diri seorang adalah faktor dari luar, yaitu
lingkugan sosial; termasuk pembinaan
dan pendidikan yang diberikan.
3) Aliran Konvergensi
: Menurut aliran ini faktor yang paling mempengaruhi pembentukan akhlak
yakni faktor internal (pembawaan) dan faktor dari luar (lingkungan sosial).
Fitrah dan kecendrungan ke arah yang lebih baik yang dibina secara intensif
secara metode.
Hal ini dapat dipahami dari hadits di bawah ini.
كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهوّدانه او ينصّرانه او يمجّسانه
(رواه البخاري)
Artinya: setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan (membawa) fitrah
(rasa ketuhanan dan kecendrungan kepada kebenaran). Maka kedua orang tuanya
yang membentuk anak itu menjadi yahudi, Nasrani, atau majusi. (HR. Bukhori).[7]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar